Prinsip keimanan seorang muslim :
Beriman kepada takdir yang telah ditetapkan oleh Allah
Iman kepada takdir Allah mencakup empat tingkatan:
1. Beriman kepada ilmu Allah yang ‘azali (ada sejak dahulu tanpa memiliki permulaan) atas segala sesuatu
2. Mengimani penulisan takdir dalam Lauh Mahfuzh
3. Mengimani bahwa kehendak dan kekuasaan Allah melingkupi seluruh makhluk-Nya
4. Mengimani bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu
Takdir yang buruk :
Buruknya sesuatu yang ditakdirkan, bukan buruknya takdir yang merupakan perbuatan Allah.
Sikap menghadapi ketetapan Allah :
– Meyakini kesudahan yang baik baik hamba yang mau bersabar.
– Menyadari dunia adalah ladang ujian.
– Kesabaran adalah hal yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menerima Takdir adalah Bagian dari Keimanan
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, satu keyakinan yang harus ada di hati kita adalah keimanan terhadap takdir Allah Ta’ala. Bahkan, prinsip ini merupakan salah satu dari rukun iman, yaitu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Semua yang terjadi di muka bumi dan alam semesta telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala.
Di antara dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh malaikat Jibril ‘alaihis salam dengan beberapa pertanyaan, di antaranya, “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Iman! Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan Engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (H.R. Muslim).
Apa yang telah Allah Ta’ala tetapkan ini mencakup seluruh kejadian yang akan terjadi di muka bumi dan seluruh alam semesta. Semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Bahkan, daun-daun yang jatuh pun Allah telah mentakdirkannya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada sehelai daun pun yang jatuh melainkan Allah mengetahuinya.” (Q.S. Al-An’am: 59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, kemudian Allah berfirman, “Tulislah!”. Pena bertanya, “Wahai Rabbku, apa yang harus aku tulis?” Maka Allah menjawab, “Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadi hari kiamat.” (H.R. At-Tirmidzi no. 2155 dan Abu Dawud no.4700, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).
Agar lebih memahami tentang takdir, ada kaidah penting terkait iman kepada takdir. Iman kepada takdir mencakup empat tingkatan, yaitu:
Pertama, Beriman kepada ilmu Allah yang ‘azali (sejak dulu tanpa memiliki permulaan) terhadap segala sesuatu, dan di antaranya adalah bahwa Allah mengetahui perbuatan hamba sebelum ia melakukannya.
Kedua, Mengimani bahwa Allah telah menuliskan takdir tersebut di Lauhul Mahfuzh.
Ketiga, Kehendak-Nya yang menyeluruh dan kekuasaan Allah yang sempurna mencakup segala peristiwa.
Keempat, Mengimani bahwa Allah menciptakan segala makhluk-Nya dan Dia-lah yang Maha Menciptakan, dan selain-Nya adalah makhluk.
(Syarh al-Aqidah Wasithiyah karya Syaikh Al-Fauzan hal. 172).
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Sedari kecil kita diajarkan bahwa ada yang namanya takdir baik dan takdir buruk. Namun apakah kita sudah mengetahui apa yang dimaksud dari takdir baik dan takdir buruk? Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa jika takdir disifati dengan kebaikan maka perkara ini sudah jelas. Adapun takdir yang disifati dengan keburukan maka yang dimaksud adalah buruknya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan buruknya takdir yang merupakan perbuatan Allah Ta’alakarena sesungguhnya perbuatan Allah tidak ada sedikitpun keburukan di dalamnya. Semua perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah di dalamnya. Maka yang dimaksud dengan keburukan di sini adalah dilihat dari hasil perbuatan dan hal yang ditakdirkan, bukan dilihat dari perbuatan Allah Ta’ala yang mentakdirkan. (Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah karya Syaikh Ibnu Utsaimin, hal 46).
Takdir Buruk sebagai Ujian
Semua yang terjadi baik berupa kebaikan maupun keburukan telah dicatat dan ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Kebaikan, –misalnya berupa mendapatkan rezeki bertambahnya ilmu, dan sebagainya-, telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Keburukan, –misalnya berupa mendapatkan musibah, di-PHK, dan sebagainya-, pula telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Namun hal yang perlu diperhatikan ialah keburukan yang menimpa kita adalah bagian dari ujian dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (ujian).” (Q.S. Al-Anbiya: 35). Ibnu Katsir mengatakan tentang ayat ini, “Allah menguji kalian terkadang dengan musibah dan terkadang dengan nikmat, untuk melihat siapakah yang bersyukur dan siapakah yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa.” Demikian juga ‘Ali bin Abu Thalhah mengatakan, dari Ibnu ‘Abbas tentang ayat ini, “Kami akan menguji kalian dengan kesengsaraan dan kesenangan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, haram dan halal, ketaatan dan kemaksiatan, serta hidayah dan kesesatan.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/342, Asy-Syamilah).
Di sinilah kita diuji oleh Allah dengan sesuatu hal yang menimpa kita, baik itu keburukan atau kebaikan. Ketika mendapatkan takdir baik berupa bertambahnya nikmat, apakah semakin bertambah rasa syukur? Apakah semakin bertambah semangat ibadahnya? Atau justru semakin membuat kita lalai? Ketika mendapatkan kejelekan, apakah membuat kita semakin kembali kepada Allah, atau justru membuat lisan kita tidak terjaga dari menggerutu dan berburuk sangka kepada Allah? Wal ‘iyadzu billah. Coba lihatlah kepada diri kita, bagaimana sikap kita ketika mendapatkan nikmat dan bagaimana sikap kita ketika mendapatkan keburukan karena inilah letak ujiannya!
Bersabar ketika Menghadapi Takdir Buruk
Sebagaimana diuraikan di atas, keburukan yang menimpa kita pada hakikatnya adalah ujian untuk melihat siapakah yang senantiasa mengingat Allah dan siapakah yang menjadi lalai karenanya. Lalu bagaimanakah cara agar kita dapat senantiasa bersabar menghadapi takdir yang buruk? Mari kita perhatikan poin-poin berikut.
1) Kesudahan yang baik bagi orang yang bersabar.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beriman kepada takdir, kemudian bersabar, maka baginya kesudahan yang baik berupa pahala di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Yusuf: 90), “Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. Hud: 49) (binbaz.org.sa/audios/1629/34).
2) Sadarilah bahwa karakter dunia itu penuh dengan ujian.
Seorang mukmin yang tidak bisa memposisikan dirinya dan tidak menjadikan sabar sebagai penolongnya, maka hidupnya tidak akan nyaman dan ia terluput dari pahala yang besar dari bersabar. Maka sudah selayaknya bagi kita sebagai seorang muslim untuk merenungi isi Al-Qur’an, apa yang Allah Ta’ala perintahkan di dalamnya berupa perintah dan motivasi untuk bersabar, serta membaca kisah perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan salafus shalih. Bagaimana mereka bisa bersabar terhadap berbagai ujian dan bencana yang menimpa mereka, sehingga kita bisa meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan para salafus shalih. (Fatwa Al-Islam Su’al wal Jawab Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid no.264679).
3)Bersabar dalam menghadapi musibah adalah perkara yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjalan melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur. Maka Beliau berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah’. Wanita itu berkata, ‘Kamu tidak mengerti keadaanku, karena kamu tidak mengalami musibah seperti yang aku alami’. Wanita itu tidak mengetahui jika yang menasehati itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu diberi tahu kepadanya, ‘Sesungguhnya orang tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam’. Spontan wanita tersebut mendatangi rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun dia tidak menemukannya. Setelah bertemu dia berkata, ‘Maaf, tadi aku tidak mengetahuimu wahai Nabi’. Maka Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya sabar itu ada pada kesempatan pertama saat datangnya musibah’ (H.R. Bukhari no 1283 dan Muslim 926) (Fatwa Al-Islam Su’al wal Jawab Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid no.264679).
Pembaca rahimakumullah, Demikian apa yang dapat kami sampaikan. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita di jalan yang lurus. Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Adya Surya Atmaja (Alumnus Ma’had Al-‘Ilmi)